Senin, 29 Desember 2008

Tantangan Pendidikan Islam di Indonesia

Membentuk ulama yang berpengetahuan dalam dan berpendirian luas serta mempunyai semangat dinamis. Hanya ulama yang seperti itulah yang bisa menjadi pendidik yang sebenarnya dalam masyarakat.” (Kutipan Pidato Hatta berjudul “Sifat Sekolah Tinggi Islam”

saat pembukaan STI di Yogyakarta 10 April 1946)

Pendidikan Islam di Indonesia selalu dihadapkan pada tantangan-tantangan serius yang membutuhkan perhatian ekstra dari pemerintah dan kalangan yang berkecimpung di dunia pendidikan. Dewasa ini, pendidikan Islam setidaknya menghadapi empat tantangan pokok. Pertama, konformisme kurikulum dan sumber daya manusia; kedua, implikasi perubahan sosial politik; ketiga, perubahan orientasi; dan keempat, globalisasi. Semua tantangan pendidikan Islam tersebut terkait satu sama lain.
Musuh Kreativitas Konformisme, atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada, merupakan tantangan pendidikan di manapun. Konformisme adalah musuh utama kreatifitas.

Padahal, kreatifitas sangat dibutuhkan untuk terus memperbarui keadaan pendidikan. Jepang yang dikenal dengan sistem pendidikan yang ketat justru sejak 1980-an meninjau ulang pendidikan mereka yang dianggap terjebak konformitas. Kreatifitas yang merupakan “roh” pendidikan dinilai sudah lama tercerabut sehingga hal itu sangat mengkhawatirkan pemerintah Jepang.

Pendidikan Islam yang sudah “tertinggal” (dibandingkan pendidikan yang berorientasi sekuler) malah juga terjebak pada konformisme. Ini tentu suatu kondisi yang lebih paradoks. Konformisme biasanya terjadi pada suatu kondisi yang sudah mapan (established), akan tetapi hal ini justru terjadi pada konteks pendidikan Islam yang bergerak lamban. Bisa dibayangkan, implikasi lebih lanjut dari konformisme pendidikan Islam.

Kurikulum yang kini dijalankan di lembaga pendidikan Islam, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah, masih banyak menggunakan model lama. Pendidikan dasar agama masih menjadi andalan, sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat, akan tetapi hal ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan bekal pengetahuan lainnya yang kontekstual dengan perkembangan sosial. Sekalipun di lembaga tertentu ada pembaruan kurikulum, namun sifatnya masih parsial. Secara keseluruhan kurikulum pendidikan Islam masih konservatif.

Implikasinya sangat serius ketika para lulusannya (SDM) menghadapi perubahan di luar dunia pendidikan mereka. Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang mereka pelajari dan bayangkan selama berada di tempat belajar-mengajar tadi. Pluralitas sosial dan kemanusiaan di tengah masyarakat membuat mereka gagap. Indonesia yang mereka diami rupanya sebuah entitas yang berwarna. Kebangsaan ini rupanya tak bisa dilihat secara monolitik, misal dari sudut pandang umat Islam saja. Di sisi lain, kelompok sosial yang merupakan produk pendidikan sekuler, dan mereka umumnya non-muslim, justru lebih adaptif, responsif, serta menguasai tren iptek.

Perubahan sosial politik ikut memberi ‘warna’ pendidikan Islam. Label sebagai institusi pendidikan Islam ikut mempengaruhi persepsi publik terhadap posisi lembaga pendidikan Islam dalam konteks perubabahn sosial politik. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam kerap dijadikan “kendaraan” oleh para petualang politik mencari dukungan. Setelah dukungan suara didapatkan, kenyataannya lembaga pendidikan Islam tadi tetap tidak banyak berubah. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama. Visi pendidikan Islam akhirnya sulit berubah dari lembaga yang hanya mendidik para calon ulama, dalam konotasinya yang ortodoks.

Paradoks lainnya berkaitan dengan stigma baru yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama. Dewasa ini lembaga pendidikan Islam mendapat citra baru, yakni mengajarkan radikalisme. Padahal kalau diperiksa tidak semua pesantren mengajarkan pendidikan dengan orientasi yang mengarahkan peserta didik berbuat radikal. Islam agama damai dan menyejukkan (hanif) mesti tetap menjadi pesan pokok pengajaran mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai perguruan tinggi. Radikalisme dalam pengajaran biasanya memunculkan radikalisme dalam tindakan.

Perubahan Orientasi

Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan “ilmu duniawi” harus konvergen.

Sayangnya lembaga pendidikan Islam terlalu lambat menyadari ketertinggalan ini. Tokoh pendidikan kita terlalu berpikir konservatif dan masih terjebak pada dikotomi antara pendidikan agama-pendidikan umum. Padahal dikotomi itu justru mematikan kreatifitas. Untunglah, dalam batas tertentu sebagian kecil yang berlatar pendidikan “sekuler” relatif lebih cepat menyadari kejumudan. Tidak heran, dewasa ini di perguruan tinggi umum diajarkan pula ekonomi Islam, sosiologi agama (Islam), psikologi Islam, antropologi agama (Islam) dan lainnya.

Pada tahun 1980-an, cendekiawan Soedjatmoko sudah mewanti-wanti bangsa Indonesia memasuki abad 21. Dikatakan, pendidikan menjadi “tumpuan” harapan bangsa Indonesia untuk bersaing di kompetisi global. Ketika negara maju terus melakukan pembaruan terhadap sistem pendidikan mereka, maka ironis sekali melihat dunia pendidikan Indonesia tidak banyak melakukan terobosan, sekalipun kecil. Kualitas SDM yang dibutuhkan sejatinya adalah SDM yang punya kualifikasi dan visi global. Secara personal, mantan Rektor Universitas PBB itu mengatakan, SDM masa depan, adalah SDM yang tidak hanya menguasai satu dua disiplin dan keahlian tertentu, melainkan beberapa bidang ilmu dan keahlian sekaligus.

Sekalipun ditujukan ke dunia pendidikan nasional, tetapi peringatan Koko (panggilan Soedjatmoko) di atas terasa sangat kontekstual dengan kondisi pendidikan Islam. Terhadap pendidikan nasional (sekuler) saja, sudah muncul keprihatinan yang mendalam, karena tidak ada terobosan yang begitu dahsyat setelah lebih 60 tahun merdeka. Apalagi terhadap pendidikan Islam. Padahal, ribuan bahkan jutaan SDM Indonesia kini dididik di lembaga pendidikan Islam dari tingkat sekolah dasar sampai pascasarjana.

Seperti dikutipkan di awal tulisan ini, tokoh nasionalis Bung Hatta juga punya pandangan menarik soal pendidikan Islam yang patut kita renungkan lagi. Ia mengutarakan nasehatnya malah sejak awal Republik, tetapi tidak pernah diaplikasikan secara serius. Sang proklamator mengatakan, agama hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap “roh” perubahan, agar Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat.

Masalahnya, sebagian lembaga pendidikan Islam masih “alergi” dengan filsafat, bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding sebagai bentuk hegemoni Barat di bidang ilmu pengetahuan. Sayangnya, kalangan Islam sendiri tidak bisa melakukan dekonstruksi atas ilmu sosial Barat. Walau tidak seluruhnya, akan tetapi secara umum kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam Indonesia mengalami kejumudan serius. (CMM)

Menegakkan Kembali Peradaban ISLAM Melalui PENDIDIKAN

Pendidikan!, sebuah kata yang tidak mungkin terlepas dari lingkup ajaran islam. Dengan pendidikanlah, din ini menjadi menghasilkan kumpulan kemenangan yang berakumulasi menjadi sebuah peradaban besar.

Pendidikan dalam islam tidak luput pendidikan aqliah atau intelektual yang mendidik akal, karena akal merupakan unsur paling berharga bagi manusia yang bertindak (berfikir) secara rasional tetapi kemampuannya agak terbatas. Fungsi tersebut telah dijelaskan dalam perkataan “iqra” yang mana keadaan akal sentiasa menerima bimbingan Allah. Oleh karena itu, pendidikan Islam menekankan pentingnya melatih aqliah manusia dengan nilai-nilai ketuhanan (ilmu tauhid), sifat ketaatan (ta’abbud) dan penyucian rohani (tazkiyyah). Dengan demikian, pendidikan akal atau mental tidak tersisih dari nilai-nilai kerohanian.

Pendidikan jasmani yang meliputi aspek fisikal dan mental pun tak luput dari konteks pendidikan islam Kedua-duanya turut diberi perhatian dalam Islam. Ia merangkumi kebersihan, kesehatan, kecerdasan, kekuatan, keberanian, dan disiplin. Ia bertujuan melahirkan insan yang sehat dan kuat untuk menjalankan kewajiban kepada Allah.

Kaitan Pendidikan dan Peradaban

Menurut Ibn Khaldun, tanda kemajuan peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung dan berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi, substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya melalui pendidikan.

Tumbuh dan tenggelamnya peradaban manusia serta unggul dan kalahnya, bukan karena sesuatu yang kebetulan semata, tetapi ada sebab-sebab tersembunyi yang berperan di balik fenomena tersebut. Apabila kita amati dengan cermat dan jujur, maka akan kita temukan suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan yang sanggup mengendalikan umat manusia itu mempunyai kaitan yang kuat dengan tingkat penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan dan sistem pendidikan.

Menurutnya, peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan kesanggupan berjuang untuk hidup.

Jadi, kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemampuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan tumbuh jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran.

Allah memberikan anugerah kepada manusia berupa tiga nikmat potensial, yaitu as-Sam’u (daya pendengaran), al-Basharu (daya pengamatan), dan al-Fu’ad (daya hati-nurani), yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk-makhluk yang lain.

Sayangnya tidak semua manusia mampu menangkap makna firman Allah tersebut dengan baik yang tersimpan dalam tiga kata tersebut. Kita seharusnya tidak memahami kata-kata tersebut sebatas arti harfiyahnya semata. Kata as-Sam’u bukan sekedar mendengar dengan telinga, tetapi menangkap informasi dan melindungi nilai-nilai ilmiah yang sudah dicapai oleh orang-orang lain (atau diwariskan oleh generasi terdahulu ). Kemudian al-Bashar tidak hanya sekedar melihat dengan mata, tetapi juga pengamatan, penelitian dan analisa-analisa laboratoris untuk mengembangkan keilmuan yang baru. Dan al-Fu’ad bukan sekedar membatin dalam hati, tetapi mengelaborasi dengan membuat evaluasi dan uji kebenaran lebih mendalam terus-menerus, untuk mengetahui mana yang valid dan mana yang tidak.

Maka bangsa dan masyarakat manapun yang mampu mengembangkan ketiga nikmat potensial tersebut dengan cara yang baik, dialah yang akan menguasai sistem pendidikan dan dapat membangun peradaban yang maju. Sedangkan mereka yang tidak mampu melakukan hal tersebut, akan hidup dalam keterbelakangan dan ketidakberdayaan.

Pendidikan adalah Akar Peradaban Islam

Islam adalah agama terbesar di dunia. Ajarannya mampu membangun suatu peradaban besar yang diakui dalam kancah pergaulan global. 14 abad lamanya kekuasaan Islam telah menaungi sepertiga bagian bumi ini. Di bawah naungan Islamlah perkembangan sains dan teknologi, perekonomian, sosial dan budaya berjalan seiring dengan peningkatan iman dan takwa. Dengan Islamlah, negara adidaya khilafah Islamiyah berkibar dan menyatukan kaum muslimin di dunia di atas kalimat tauhid. Negara Islam saat itu menduduki posisi strategis dalam membangun kehidupan manusia menuju perdamaian dan kesejahteraan.

Agama ini telah meletakkan pondasi peradaban yang besar dan gemilang dalam sejarah. Peradaban Islam merupakan pengibar bendera keilmuan dan kebudayaan di dunia pada abad ke-3 hingga ke-7 Hijriah. Penekanan Islam atas pendidikan dan penelitian merupakan penyebab utama terbentuknya peradaban yang agung itu. Sumber-sumber Islam, khususnya Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah saw., dipenuhi dengan serangkaian ajaran yang mengajak umat Islam untuk menuntut ilmu dan merenungkan alam semesta serta menghormati ilmuwan. Dengan ajaran semacam ini, tidaklah mengherankan bila peradaban dan kebudayaan Islam kian berkembang di berbagai bidang. Dalam jantung peradaban Islam, para pemikir besar mengemuka di kancah keilmuan dengan mempersembahkan pelayanan yang luar biasa kepada umat manusia.

Bila kita menengok kondisi dunia Islam dari abad ke-3 hingga ke-7 Hijriah, kita akan menemukan bahwa pada zaman itu, pusat-pusat pendidikan tersebar di berbagai penjuru wilayah Islam. Selain universitas-universitas, masjid-masjid juga dijadikan tempat penyebaran ilmu. Perpustakaan-perpustakaan, pusat-pusat riset, dan laboratorium-laboratorium juga bermunculan di berbagai tempat. Semua fasilitas itu menyebabkan ilmu dan pengetahuan mempunyai tempat yang utama di tengah-tengah umat Islam.

Para ilmuwan muslim dengan mengeksplorasi hasil-hasil peradaban kuno akhirnya mencapai keberhasilan di berbagi bidang seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, filsafat, logika, sastra, sejarah, dan geografi. Semangat menuntut ilmu dan menempa pendidikan itu bukan hanya terbatas di kalangan ilmuwan atau kalangan tertentu saja, namun juga mencakup semua lapisan masyarakat. Hal ini terjadi berkat penekanan Islam atas pentingnya ilmu dan pendidikan. Rasulullah saw. bersabda, Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslimin, baik perempuan maupun laki-laki.

Sungguh ironi, mengapa saat ini negara yang berlandaskan dan atau berpenduduk mayoritas muslim kurang berlaga dalam kancah peradaban dunia seperti dahulu kala? Mengapa mereka tidak dapat membuat rantai peradaban Islam? Padahal begitu banyak potensi yang dimiliki negara Islam seperti sumber daya alam yang melimpah. Apakah yang menyebabkan hal ini terjadi? Peradaban mana yang telah naik daun saat ini?

Benturan Peradaban Islam dan Barat : Tantangan Bagi Umat Islam Saat Ini

Sejarah telah mencatat Baratlah yang memulai perang terhadap umat Islam yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Salib atau Crusade. Perang Salib terjadi selama satu abad (1096–1192 M), yang berlangsung selama tiga tahap: antara tahun 1096–1099 M, antara tahun 1147–1149 M, dan antara tahun 1189-1192 M. Pembantaian kaum Muslim oleh tentara salib di Spanyol (Andalusia) abad XV M, termasuk serangan secara pemikiran dan kebudayaan (tsaqâfah) seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis, adalah juga berlatarbelakang agama.

Di akhir abad ke-5 Hijriah, pasukan Salib menyerang kawasan-kawasan Islam dengan alasan mengusai Baitulmaqdis. Hampir dua abad lamanya, mereka menggelar peperangan akbar untuk menduduki kawasan-kawasan Islam. Perang Salib belum selesai, pasukan Mongol pun menyerang kawasan timur pada awal abad ke-7 Hijriyah. Serangan ini telah merugikan negara-negara Islam dalam jumlah yang besar. Konflik lain juga menimpa dunia Islam, yaitu perselisihan di antara pemerintahan Islam. Semua tragedi ini mengakhiri masa kegemilangan peradaban Islam.

Selama Perang Salib berlangsung, terjadi juga perpindahan berbagai informasi dari Timur ke Barat. Melalui perang ini, Barat mulai mengenal keilmuan dan peradaban Islam yang kemudian dijadikan sebagai pijakan kejayaan Barat saat ini. Eropa pasca periode rennaisance meraih kejayaan keilmuan dan peradabannya dengan memanfaatkan berbagai kemajuan ilmu yang diraih peradaban Islam. Kemajuan peradaban Barat lambat laun membuat mental umat Islam melemah dan mereka semakin tidak berdaya menghadapi derasnya kemajuan peradaban Barat. Umat Islam pun secara perlahan-lahan tak lagi bergairah mempertahankan kejayaan keilmuan dan peradaban Islam.

Samuel P. Huntington dalam tesis “The Clash of Civilization” , kita dapat mengetahui dan melihat posisi peradaban Islam di tengah-tengah konstalasi peradaban global dewasa ini. Huntington menyebutkan di dunia sekarang ini terdapat sembilan peradaban yang masih eksis, yaitu peradaban Barat, Konfusianis, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Dari peradaban-peradaban tersebut ada tiga peradaban besar, yaitu Peradaban Barat, peradaban Cina, dan peradaban Islam.

Menurutnya, kontradiksi-kontradiksi antar peradaban tersebut akan menciptakan konflik yang berakar dari benturan peradaban besar tersebut, yakni hegemoni dan arogansi peradaban Barat, fanatisme peradaban Cina, dan intoleransi peradaban Islam. Menurut pengamatan Huntington, bahwa kolaborasi kultural antara Islam dan Cina adalah sesuatu yang bisa terjadi setiap saat, karena adanya kedekatan kultural diantara keduanya. Dan hal tersebut sangat ampuh untuk mengikis perbedaan-perbedaan lain yang ada di antara keduanya, dan dapat bersatu melawan hegemoni Barat.

Meskipun tesis Huntington menyebutkan tiga poros peradaban yang menjadi mainstream di abad modern saat ini, namun ada dua kutub yang seringkali dipertentangkan sedara diametral, yaitu peradaban Barat versus peradaban Islam.

Pada faktanya, tesis tersebut memang tidak bisa dipungkiri. Pasca era Perang Dingin, dengan melihat realitas politik yang ada, kita melihat bahwa benturan antara peradaban Barat dan Islam sesungguhnya sedang berlangsung. Bahkan, boleh dikatakan, benturan Islam Barat saat ini sebetulnya hanyalah lanjutan belaka dari benturan yang pernah terjadi pada masa lalu, khususnya pada era Perang Salib.

Hingga kini, ‘semangat’ Perang Salib ini masih melekat dalam benak orang-orang Barat, yang kemudian menjelma menjadi ‘prasangka buruk’ (stigma) terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Kecenderungan memberikan label yang bersifat generalisasi mengenai Islam dan orang Islam, tanpa melihat kenyataan sebenarnya, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan.

Saat ini, model sistem pendidikan di dunia pada umumnya telah mereka kuasai, sehingga penanaman nilai-nilai moral agama terasa kurang dan tersisihkan. Padahal nilai-nilai agama sangat berguna dalam menciptakan generasi rabbani yang tangguh imannya dan cerdas intelektualnya.

Bila kita cermati, kuantitas dan kualitas kerja umat ini masih tertinggal dari Barat. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kelebihan umum orang Barat saat ini adalah mereka memiliki kualitas dan kuantitas kerja yang luar biasa. Semangat untuk mencari kekayaan dan kekuasaan mendobrak jiwa mereka untuk bergerak mencari taraf kehidupan yang lebih tinggi. Mereka kuasai iptek, media massa, perdagangan, transportasi, dan pergaulan global. Sementara umat Islam saat ini? Masih dalam kemunduran. Lihatlah kondisi umat Islam pada grafik di bawah.

Grafik tersebut mencerminkan kondisi usia kerja berbagai umat dengan tidak mempunyai kualifikasi (tahun 2004)[1]. Umat Islam mencapai angka tertinggi. Sungguh mengerikan! Apakah yang menyebabkan kondisi ini? Manakah yang patut disalahkan? Ajarannya atau pemeluknya?

Paradigma berfikir umat Islam saat ini masih pragmatis. Mayoritas umat ini masih memandang agama hanya sebagai bekal untuk kehidupan ukhrowi semata. Sementara pendidikan sains dan teknologi kurang terperhatikan. Padahal Islam sendiri mengajarkan sikap tawazun dalam menjalani kehidupan. Seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat. Seimbang antara penguasaan ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Orang yang hanya mempelajari ayat qauliyah tanpa ayat kauniyah akan ”lumpuh” hidupnya, mudah terperdaya oleh orang lain dan mudah diserang oleh lawan.

Sedangkan orang yang hanya mempelajari ayat-ayat kauniyah tanpa ayat-ayat qauliyah, maka hidupnya akan terjatuh ke dalam lembah kesesatan yang hina dina. Dia hampa dari petunjuk, hidupnya penuh dengan ambisi duniawi, kosong dari nuansa ukhrowi.

Menegakkan Kembali Konsep Pendidikan Islam

Al-Quran menyebut tiga kaedah mengetahui, melalui konsep-konsep ainul yaqin (ketahui melalui pancaindera), ilmul yaqin (ketahui melalui logika), dan haqqul yaqin (ketahui melalui ilham, wahyu). Apabila kita menggabungkan ketiga kaedah mengetahui ini, kita mendapat pengetahuan terpadu yang lengkap atau sempurna.

Islam adalah agama yang menghendaki keseimbangan. Seimbang dalam pengkajian ayat-ayat kauniyah dan juga ayat-ayat qauliyah. Seimbang antara ibadah dalam keduniawian dan keukhrawian. Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa hukum menuntut ilmu agama adalah fardhu ‘ain, sedangkan menuntut ilmu dunia seperti sains dan teknologi adalah fardhu kifayah. Dengan demikian, output pendidikan Islam akan menghasilkan generasi qur’ani yang cerdas otaknya dan lembut hatinya.

Hal ini terbukti dengn banyaknya ilmuan muslim ketika masa kekhalifahan. Adapun para ilmuan muslim tersebut diantaranya : Ibnu Khaldun (ahli sosiologi dan ilmu sejarah), Ibnu Haitham (bapak ilmu optic), Abu Bakr Muhammad bin Zakariya ar-Razi (ahli kedokteran), Ibn Sina (pakar kedokteran), Ibnu Rusyd (filosof, dokter, dan ahli fikih Andalusia), al-Khawarizmi (pakar matematika), Jabir Ibn Hayyan (ahli kimia), al-Idrisi (ahli geografi), dan sebagainya.

Tidak pelak lagi, pencapaian sains dan teknologi yang amat tinggi, yang tidak pernah dicapai oleh umat manusia pada masa sebelumnya, adalah berkat diterapkannya Islam sebagai sebuah sistem pendidikan dan ideologi. Benar kiranya pernyatan salah seorang intelektual Muslim dari Mesir, Syekh Syaqib Arselan, yang mengatakan bahwa orang-orang Barat maju karena meninggalkan agamanya dan kaum Muslim mundur karena meninggalkan agamanya
Sudah saatnya kita berbenah diri memperbaiki sistem pendidikan ini sebagai basis peradaban dan tunas kemajuan umat.

Oleh karena itu, pembenahan kurikulum pendidikan wajib kita lakukan demi terciptanya sistem pendidikan yang lebih baik. Sistem pendidikan berbasis Islamlah yang tepat untuk mengatasi hal ini, yakni sistem pendidikan yang menghendaki adanya integrasi imtak dan iptek. Pendidikan yang menyeimbangkan antara penguasaan ayat-ayat kauniyah tanpa menafikan ayat-ayat qauliyah.

Untuk itu, kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan ulama perlu dilakukan lebih intens untuk membahas pernasalahan ini demi terwujudnya sistem pendidikan yang lebih baik dan unggul. Semoga islam kembali menjadi sebuah peradaban yang dikagumi dan disegani oleh dunia. Allahu akbar! (epsdin dari berbagai sumber)

Rabu, 24 Desember 2008

PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBINAAN MUSLIM

1. Pengertian

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih sensibilitas individu sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan begitu pula pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan diatur oleh nilai-nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan.

Dengan pendidikan Islam itu mereka akan terlatih dan secara mental sangat berdisiplin sehingga mereka ingin memiliki pengetahuan bukan saja untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektual atau hanya manfaat kebendaan yang bersifat duniawi, tetapi juga untuk tumbuh sebagi makhluk yang rasional, berbudi dan menghasilkan kesejahteraan spiritual, moral dan fisik keluarga mereka, masyarakat dan umat manusia.

Pendidikan Islam yang memiliki tujuan besar dan universal ini, bukan berlangsung temporal, tapi dilakukan secara berkesinambungan. Artinya tahapan-tahapannya sejalan dengan kehidupan, tidak berhenti pada batas-batas tertentu, terhitung sampai dunia ini berakhir.
Pendidikan yang memiliki makna demikian ini adalah menjadi tujuan terpenting dalam kehidupan, baik secara individu maupun keseluruhan. Kita telah memahami, sasaran pendidikan dan pembinaan ini adalah kemaslahatan umat.

Dengan demikian asas yang paling hakiki dari sebuah pendidikan adalah mencapai keridhaan Allah SWT, seperti termaktub dalam firman Allah :“ Tidak wajar bagi seorang manusia yang Alloh berikan kepadanya Al Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia, `hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.` Akan tetapi (dia berkata), `Hendaklah kamu menjadi orang-orang Robbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.(3: 79).2.

Karakteristik Sistem Pendidikan IslamPendidikan Islam sebagai satu mata rantai dari Syariat Islam, memiliki ciri khusus yang sama dengan kekhususan Al Islam sendiri, yaitu syamil-kamil-mutakamil (sistem yang integral-sempurna-dan menyempurnakan). Integralitas sistem pendidikan Islam ini secara garis besar mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, yang secara garis besar adalah :

a. Pendidikan Keimanan (aqidah)
Yang dimaksud dengan pendidikan iman adalah mengikat individu dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syari’ah Islamiyah. Metode pendidikan ini adalah menumbuhkan pemahaman terhadap dasar-dasar keimanan dan ajaran Islam yang bersandarkan pada wasiat-wasiat Rosululloh saw. dan petunjuknya.

b. Pendidikan Moral (Akhlaq)
Maksud pendidikan moral adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh individu sejak masa analisa hingga ia menjadi seorang mukallaf, pemuda yang mengarungi lautan kehidupan.Tidak diragukan lagi bahwa keutamaan-keutamaan moral, perangai dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang mendalam, dan perkembangan religius yang benar.

c. Pendidikan Fisik
Pendidikan Islam sangat memperhatikan fisik tiap-tiap muslim. Apabila kita bicara tentang fisik dalam pendidikan, yang dimaksud bukan hanya otot-ototnya, panca inderanya dan kelenjar-kelenjarnya, tetapi juga potensi energik yang muncul dari fisik dan terungkap melalui perasaan.
Islam mendidik umatnya dengan memberikan rangsangan yang baik sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw. : “ Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai daripada mukmin yang lemah.” Islam juga mengajarkan aturan -aturan yang sehat dalam makan, minum, dan tidur. Mendidik untuk menjaga kesehatannya, dengan selalu menganjurkan olah raga dan menjauhkan diri dari penyebab-penyebab kelemahan.

d. Pendidikan intelektual
Maksud pendidikan intelektual adalah pembentukan dan pembinaan berpikir individu dengan segala sesuatu yang bermanfaat, ilmu pengetahuan, hukum, peradaban ilmiah dan modernisme serta kesadaran berpikir dan berbudaya. dengan demikian ilmu, rasio dan peradaban individu tersebut benar-benar dapat dibina.

Akal adalah kekuatan manusia yang paling besar dan merupakan pemberian Allah yang paling berharga. Dan al-Qur’an memberikan perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan akal ini. Al-Qur’an mendidik akal dengan begitu banyak ayat-ayat alam semesta untuk jadi bahan perenungan. Tapi bukan perenungan itu yang menjadi tujuannya, melainkan mendidik akal agar cermat, cerdas dan akurat dalam berpikir dan bersikap serta menempuh jalan hidup. (67:4 / 35:40 / 53:28 / 17:36)

e. Pendidikan Psikhis
Maksud pendidikan psikhis adalah mendidik individu supaya bersikap berani, berterus terang, merasa sempurna, suka berbuat baik terhadap orang lain, menahan diri ketika marah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan psikhis dan moral secara keseluruhan.
Tujuan pendidikan ini adalah membentuk, menyempurnakan dan menyeimbangkan kepribadian individu, sehingga mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan baik dan sempurna.

f. Pendidikan Sosial
Maksud pendidikan sosial adalah mendidik individu agar terbiasa menjalankan adab-adab sosial yang baik dan dasar-dasar psikhis yang mulia dan bersumber pada aqidah Islamiyah yang abadi dan perasaan keimanan yang mendalam, agar di dalam masyarakat nanti ia bisa tampil dengan pergaulan dan adab yang baik, keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana.

g. Pendidikan seksual
Yang dimaksud pendidikan seksual adalah upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada individu, sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri dan perkawinan. Sehingga, jika anak tumbuh menjadi seorang pemuda, dia dapat memahami masalah yang dihalalkan dan yang diharamkan. Bahkan mampu menerapkan tingkah laku Islami sebagai akhlak, kebiasaan, dan tidak akan mengikuti syahwat dan cara-cara hedonisme.

Diantara pendidikan ini adalah mendidik adab-adab meminta idzin, adab memandang, keharusan menghindarkan diri dari rangsangan-rangsangan seksual, mengajarkan tentang hukum-hukum pada masa pubertas dan masa baligh, Perkawinan dan hubungan seksual, isti’far (mensucikan diri) bagi orang yang belum mampu menikah, dll.
Selain syamil, pendidikan Islam juga memiliki keistimewaan lain yaitu, Berdimensi manusiawi dengan paket pembinaan yang bertahap dan tawazun (penuh keseimbangan dalam segala sisi kehidupannya). selain juga terus mengikuti perkembangan jaman serta tetap menjaga orisinalitasnya.

Itulah garis besar karakteristik pendidikan Islam yang keberlangsungannya sangat bergantung pada manusia pelaksananya, perangkat serta keistiqomahan seluruh masyarakat dalam merealisir konsep pendidikan itu pada tujuan yang benar. Yakni upaya sungguh-sungguh (jihad) menciptakan masyarakat yang seluruh aktifitas ritual, sosial, intelektual, dan fisikalnya tunduk kepada tata aturan Maha pencipta alam semesta.

3. Pendidikan Islam dimasa Rasulullah
Segera setelah hijrah Rasulullah memberikan prioritas utama pada pendidikan umat Islam. Pusat pendidikan Islam pertama `As-Sufah`, didirikan sebagai pusat pemukiman di salah satu ruangan dalam rumah yang bergandengan dengan rumah nabi. Pendidikan tersebut secara keseluruhan berada di bawah pengawasan beliau. Tujuan utamanya adalah mensucikan hati dan menerangi jiwa, sehingga mereka dapat meningkatkan diri dari tingkat iman ke tingkat ihsan (penyerahan diri secara total).

Kadang-kadang Nabi menyuruh para sahabatnya menemui utusan-utusan yang datang dari berbagai suku. Pengiriman guru ke wilayah-wilayah yang berdekatan merupakan ciri khas kebijaksanaan pendidikan Nabi.

Pada zaman Nabi terdapat 9 buah masjid di Madinah. Setiap Masjid juga berfungsi sebagai sekolah, yang kadang-kadang diadakan kuliah malam. Kuliah ini diikuti oleh banyak siswa, lebih dari 70 orang. Selain itu Nabi juga mengajarkan spesialisasi. Mereka yang ingin belajar Al-Quran harus pergi kepada orang-orang tertentu, dan mereka yang ingin mendalami tajwid atau syariah harus belajar kepada orang-orang lain yang mendalam benar pengetahuannya tentang bidang studi tersebut.

Pendidikan bagi kaum wanita juga tak kalah pentingnya. Nabi menyediakan satu hari khusus untuk memberikan kuliah-kuliah kepada kaum wanita. Nabi juga mengajarkan bagaimana cara memanah, berenang, dan meramu obat-obatan, mengajarkan astronomi, geneologi dan fonetika praktis yang diperlukan untuk membaca Alquran.

Satu hal yang perlu dicatat, meskipun perhatian dipusatkan kepada Al Quran dan Ilmu-ilmu keislaman ,namun pengajaran semua bidang studi yang dinilai membantu pengembangan kepribadian setiap individu atau masyarakat secara sehat dimasukkan sebagai bagian atau paket dalam sistem pendidikan Islam kala itu. Pendidikan untuk anak laki-laki dan perempuan juga sama-sama diutamakan. Orang-orang dewasa diberi tanggung jawab untuk mengajar yang muda, baik mengenai agama maupun pengalamannya. Hal ini mendorong berdirinya beberapa buah sekolah dan lembaga pendidikan.

Jadi dengan kepemimpinan Nabi yang dinamik itu, tujuan akhir dalam hidup manusia bukan saja ditunjukkan, tetapi juga diterjemahkan dalam kegiatan praktis, suatu sistem dan organisasi untuk mencapai tujuan itupun dibentuk.

Begitulah cara Nabi mendidik ummatnya. sederhana namun mengena . Dibalik kesederhanaan itu kita melihat suatu kompleksitas yakni suatu kebersamaan dalam mendidik manusia . Tak hanya aspek ruhiyah atau fikriyah saja, tapi ilmu praktis kehidupan serta jasadiyah turut diperhatikan .

Tidak mengherankan jika anak-anak dan wanita pada jaman Rasulullah tumbuh menjadi manusia yang berani. Mereka mengerti kapan bersuara dan kapan berdiam diri. Pribadi-pribadi yang tertarbiyah oleh tangan Rasulullah tumbuh menjadi pribadi yang sehat, tahu persoalan ummat sekaligus ahli dalam bidang yang diminati.

Mereka juga terkenal sebagai manusia-manusia kuat, sanggup menempuh perjalanan panjang serta mampu berjihad dalam waktu yang relatif lama.
Pendek kata hampir semua sisi kebutuhan manusia dipenuhi oleh pendidikan Rasulullah, sehingga mereka tumbuh menjadi insan kamil ( manusia sempurna).

Sebagai bukti keberhasilan pembinaan Rosululloh adalah ungkapan Sayyid Quthb sebagai berikut, “ Muhammad saw. telah menang pada hari beliau menjadikan para shahabatnya sebagai gambaran-gambaran hidup dari keimanannya yang memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar, pada hari beliau membuat tiap kepala di antara mereka sebagai Al-Qur’an yang hidup merayap di permukaan bumi, pada hari beliau menciptakan tiap individu diantara mereka sebagai contoh yang menjelma bagi Islam, yang dapat dilihat oleh manusia, sehingga mereka benar-benar dapat melihat Islam. Muhammad saw. telah berhasil merubah gagasan-gagasan yang termuat dalam Al-Qur’an menjadi manusia-manusia yang dapat disentuh oleh tangan dan dapat dilihat oleh mata”.

“Muhammad bin Abdillah saw. dalam posisi menang ketika berhasil menginternalisasikan Al-Islam, merubah keimanan manusia kepada Islam sampai pada tingkah laku dan mencetak puluhan, ratusan dan ribuan naskah mushhaf. Bukan sekedar mencetak dengan tinta diatas lembaran-lembaran kertas, tetapi mencetak dengan cahaya di atas kepingan-kepingan hati untuk bergaul dengan manusia, mengambil dari mereka, memberi dan berkata kepada mereka dengan ihwal sesuai dengan maksud Al-Islam yang dibawa oleh Rosululloh dari sisi Alloh SWT.”
Apakah dunia mengetahui ada orang yang lebih mulia, terhormat, pengasih, penyayang, agung, luhur atau lebih pandai dari mereka ?!

Cukuplah bagi mereka untuk dikatakan sebagai orang-orang mulia dan agung, apabila Al-Qur’anul Karim telah mengatakan tentang hak mereka. (48:29 / 59:9 / 33:23)
Sekarang tinggal kita, mampukah menyerap hakikat pembinaan Rasulullah dan mengejawantahkan dalam kondisi kekinian

SELAMATKAN INDONESIA DENGAN SYARIAH

Masalah pendidikan sangat berkaitan dengan masalah bidang lainnya, seperti ekonomi, hukum, sosial dan politik. Tidak bisa menyelesaikan masalah pendidikan hanya dari satu sudut bidang pendidikan semata, karena hasil pendidikan siswa disekolah sangat dipengaruhi juga oleh lingkungan dan keluarganya, maka solusinya harus bersifat revolusioner yaitu merubah secara total paradigma berpikir dan bersikap dari pola pikir dan pola sikap dari kapitalis menjadi pola berpikir islam.

Di masyarakat kita saat ini berkembang persepsi kapitalis, semisal sekolah bertujuan dapat kerja, sekolah biar jadi orang kaya, sekolah sekedar mengisi waktu luang atau dari pada menganggur. Pelajaran ekonomi misalnya, mengajarkan: demi keuntungan sebesar-besarnya, dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.

Allah menciptakan manusia, pasti dengan segala panduannya termasuk sistem pendidikan. Dalam islam bersekolah atau menuntut ilmu merupakan kewajiban. Hendaknya ditanamkan pada anak didik bahwa belajar atau menuntut ilmu hukumnya wajib, jika dilakukan akan mendapat pahala dan derajat yang tinggi, dan kalo tidak dilakukan berarti dosa. Hal ini kebanyakan tidak dipikirkan oleh masyarakat sekuler saat ini.

Beberapa abad silam pendidikan umat islam amat maju. diketahui bahwa peletak science modern adalah pemikir dan ilmuwan muslim. Mengapa dulu, pada semasa khalifah umar bin abdul aziz umat islam ulamanya ahli dibidang science dan sekaligus menjadi ahli agama? kalo ditelusuri jawabnya adalah tidak ada sekulerisasi antara agama dan science. Para ilmuwan waktu itu berlomba-lomba mencapai derajat yang tinggi karena didorong oleh keyakinan, bahwa barang siapa menuntut ilmu Alloh akan meninggikan derajatnya.

Disamping itu negara atau kahlifah sadar bahwa memberikan sarana agar rakyatnya dapat melakukan kewajiban menuntut ilmu merupakan tanggung jawabnya. Khalifah banyak mendirikan perpustakaan diberbagai tempat yang bisa diakses oleh masyarakat luas. Sekolah-sekolah digratiskan, usia sekolah tidak dibatasi, guru atau ulama digaji tinggi, bahkan konon seorang ulama dihadiahi emas seberat buku yang berhasil ditulisnya. Dalam proses belajar siswa tidak dibebani harus ujian tanggal seki! an, tetapi siswa diberi kesempatan sampai benar-benar menguasai materi pelajaran dan jika telah siap maka siswa menghadap guru untuk diuji secara lisan. prinsip islam lainnya adalah :ilmu untuk amal agar benar-benar memahami maka ilmu yang telah diperoleh harus diamalkan.

Dalam hal ini ilmu-ilmu yang bersifat fardhu kifayah atau keahlian dipelajari oleh orang-orang tertentu yang berminat. tidak seperti saat ini, siswa begitu banyak dijejali materi yang sekedar informasi dan sulit dipraktekkan. inilah setitik kehebatan sistem pendidikan islam, jika kita trmasuk orang yang yakin akan kebenaran islam, maka usahakan dan tegakkanlah syariah secara menyeluruh.

Pendidikan yang bermutu katanya tidak bisa dicapai kalo tidak ada biaya, bagaimana bisa membiayai pendidikan, jika ekonominya seret? bagaimana agar ekonomi tidak susah? jawabnya buang ekonomi kapitalis, terapkan ekonomi islam yang menjamin distribusi yang merata. Mana mungkin menerapkan ekonomi, jika negara tidak memfasilitasi? negara tidak mau dan tidak mampu menerapkan ekonomi islam jika sistemnya bukan sistem islam. Kesimpulannya tegakkan syariah islam secara total.

Allohu akbar...Jika anda ingin tahu konsep pendidikan islam selengkapnya carilah informasi pada pengemban dakwah Hizbut Tahrir indonesia.


Blogspot Templates by youlee_three Dot Com. Powered by Blogger and PDF Downloads