Minggu, 11 Januari 2009

Perkembangan pendidikan di indonesia pada saat ini

Secara umum hasil pendidikan yang telah dicapai melalui institusi pendidikan formal belum dapat memuaskan semua pihak terutama para pemerhati pendidikan (stakeholder). Hal ini disinyalir karena masih banyak ketimpangan yang terjadi khususnya sistem pendidikan di tanah air. Ace Suryadi (Kompas, 25 Januari 2002) mengakui bahwa sistem pendidikan sekarang ini masih belum menunjukkan kemampuan life skill yang diinginkan.

Disamping itu pondasi pendidikan secara nasional masih lemah. Pelajaran yang diajarkan dalam kurikulum kita belum banyak mengandung basic learning skills.
Dari sisi lain ternyata hasil pendidikan kita masih sangat rendah dari segi mentalitas. Hal ini didasari oleh pidato Mantan Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri yang mengatakan bahwa mentalitas bangsa Indonesia tertinggal dibanding negara-negara lain, termasuk dengan negara tetangga terdekat sekalipun.

Masalah ini pada gilirannya bermuara pada rendahnya kadar disiplin sosial bangsa sehingga berdampak negatif terhadap kegiatan dan hasil-hasil pembangunan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kemampuan dan kecerdasan memang telah mampu mengantar Indonesia pada tingkat kehidupan dan kemajuan seperti sekarang ini. Namun saat yang bersamaan, dengan jujur harus kita akui bahwa sikap mental kita ternyata belumlah tumbuh sebanding dengan kemajuan fisik dan material yang kita capai (Kompas, 3 Mei 2001).
Selain kenyataan di atas, persoalan mutu pendidikan Indonesia ternyata terburuk di Asia tenggara. Dalam Rakor Kesra terbatas yang diikuti empat Menteri Kabinet Gotong-Royong pada Kamis, 28 Maret 2001 di Jakarta, menyepakati, kondisi mutu pendidikan nasional dewasa ini paling buruk di Asia Tenggara. Jusuf Kalla menyatakan kondisi mutu SDM Indonesia sangat memprihatinkan di Asia. Dalam persaingan dengan negara lain, ibaratnya kita hanya mampu bersaing pada tingkat kuli dan pembantu rumah tangga (PRT).

Ini karena sistem pendidikan kita yang keliru dan harus ada pembenahan pada proses belajar-mengajar yang tidak benar. Beliau mengatakan lebih lanjut, mengapa kita terpuruk?, karena kita tidak mau belajar, sebab selama ini yang belajar atau tidak, prestasinya dianggap sama. Belajar atau tidak, waktu ujian lulus semua. Sementara Mantan Mendagri Hari Sabarno, mengemukakan keterpurukan sistem pendidikan nasional memperburuk kualitas SDM Indonesia, itulah sebabnya, pendidikan perlu terobosan untuk melihat kembali tujuan pendidikan nasional, yakni menyiapkan kualitas SDM yang handal baik intelektual, integritas pribadi, maupun kualitas fisik. Mantan Mendiknas Malik Fajar mengungkapkan bahwa jangan ada kompromi apapun dalam dunia pendidikan. Saatnya kita kedepankan integritas moral baik guru maupun masyarakat.

Masalah lain yang masih tetap menjadi hangat dibicarakan adalah mengenai bentuk kurikulum, Siskandar, (Kompas, 16 April 2001), mengemukakan bahwa kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling banyak mendapat perhatian. Bahkan ada yang menganggap kurikulum sebagai salah satu faktor yang amat menentukan keberhasilan belajar siswa. Pada hal faktor keberhasilan lainnya juga ditentukan oleh guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta manajemen sekolah. Siskandar mengakui bahwa kurikulum pendidikan tahun 1994 mempunyai banyak kelemahan yang harus diperbaiki.

Kelemahan tersebut adalah beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran. Jangankan terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari, materi pelajaran yang adapun banyak yang terlalu sukar dan kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa. Kelemahan lain kurikulum itu bersifat popularitas dengan memberlakukan satu sistem pendidikan untuk semua siswa di seluruh tanah air. Padahal, potensi, aspirasi dan kondisi lingkungannya sangat beragam.

Selain beberapa persoalan di atas, dalam buku pegangan berjudul Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (life skill) melalui pendekatan Broad-Based Education (BBE) yang disusun oleh Tim Broad-Based Education Depdiknas Januari 2002, menyebutkan bahwa persoalan nasional yang dihadapi bangsa indonesia dalam rangka peningkatan kualitas SDM saat ini masih sulit dipecahkan, terutama yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :

1) Terjadinya perubahan manajemen pemerintahan di Indonesia dari Sistem Sentralistik menjadi Otonomi Daerah. Kondisi ini memerlukan dukungan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan teknis produktif maupun manajerial, dengan harapan mampu mempercepat roda perekonomian rakyat dan meningkatkan pendapatan daerah.

2) Sistem pendidikan yang selama ini diterapkan belum dapat menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing di pasar bebas. Hal tersebut banyak ditunjukkan dari penelitian badan–badan Internasional yang hasilnya sangat tidak menggembirakan, bahwa Indonesia selalu mendapat nomor yang terbawah bahkan dibawah negara tetangga seperti Vietnam.

3) Banyak lembaga yang menyelenggarakan pendidikan umum (SMA dan yang sederajat ) ternyata kurang mendukung tuntutan dunia usaha dan industri akan tenaga kerja, sehingga tamatannya meningkatkan angka pengangguran.

4) Tingginya potensi tidak melanjutkan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan.

Data statistik pendidikan tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah tamatan yang tidak melanjutkan dari SLTP ke Sekolah Menengah (SMA) 34,40%, dan SMA ke Perguruan Tinggi (PT) 88,4%. Angka tersebut terus meningkat hingga pada tahun 2007. Hal ini tentunya cukup mengkhawatirkan karena sebagian besar dari mereka masuk ke pasar kerja tanpa memiliki kompetensi yang memadai dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar kerja.

Berdasarkan beberapa pernyataan tentang kondisi pendidikan di tanah air seperti yang telah disebutkan di atas, maka langkah kongkrit yang harus segera mendesak untuk dilakukan adalah melaksanakan apa yang disebut dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang didalamnya terdapat esensi yang paling utama yaitu memberikan kecakapan/keterampilan hidup (life skill) bagi para siswa agar nantinya mereka dapat menguasai ilmu pengetahuan/teknologi serta memiliki iman dan taqwa, memiliki daya nalar yang tinggi, kritis, inovatif dan kreatif. Dan pada akhirnya tamatan pendidikan tersebut akan menjadi aset terbesar dalam pembangunan bangsa dan negara bahkan yang lebih penting lagi mereka dapat hidup mandiri dan mampu berdiri di atas kaki sendiri, membiayai hidupnya dan keluarga serta bermanfaat terhadap lingkungannya. (dari berbagai sumber)

Jumat, 02 Januari 2009

Memajukan Pendidikan Islam Kita Perlu Belajar dari Masa Lampau

Sejarah pendidikan Islam erat kaitannya dengan sejarah Islam, karena proses pendidikan Islam sejatinya telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya umat Islam itu sendiri. Melalui sejarah Islam pula, umat Islam bisa meneladani model-model pendidikan Islam di masa lalu, sejak periode Nabi Muhammad SAW, sahabat dan ulama-ulama sesudahnya. Alih-alih sejarah menyebut bahwa sebelum muncul sekolah dan universitas, sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sesungguhnya sudah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal, diantaranya adalah masjid.

Masjid pada masa Nabi bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai tempat “menyiarkan” ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang dewasa, disamping sebagai tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan tempat menerima duta-duta asing. Bahkan di masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan dan buku-buku dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu. Sebelum al-Azhar didirikan di Kairo, sesungguhnya sudah banyak masjid yang dipakai sebagai tempat belajar, tentunya dengan kebijakan-kebijakan penguasa pada saat itu.

Kemajuan Pendidikan Islam Masa Lampau

Islam mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, mayoritas umat muslim sudah bisa membaca dan menulis dan dapat memahami isi dan kandungan al-Quran dengan baik. Pada masa ini murid-murid di tingkat dasar mempelajari pokok-pokok umum yang ringkas, jelas dan mudah dipahami tentang beberapa masalah. “Pendidikan di tingkat dasar ini diselenggarakan di masjid, dimana al-Quran merupakan buku teks wajib.” Pada tingkat pendidikan menengah diberikan penjelasan-penjelasan yang lebih mendalam dan rinci terhadap materi yang sudah diajarkan pada tingkat pendidikan dasar. Selanjutnya pada tingkat universitas sudah diberikan spesialisasi, pendalaman dan analisa.

Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan dalam pendidikan Islam saat itu, yaitu : pertama, kurikulum pendidikan tingkat dasar yang terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prinsip dasar Matematika dan pelajaran syair. Ada juga yang menambahnya dengan mata pelajaran nahwu dan cerita-cerita. Ada juga kurikulum yang dikembangkan sebatas menghapal Al-Quran dan mengkaji dasar-dasar pokok agama.

Berikut sebuah riwayat yang bisa memberikan gambaran tentang kurikulum pendidikan pada tingkat dasar pada saat itu. Al Mufadhal bin Yazid menceritakan bahwa pada suatu hari ia berjumpa seorang anak-anak laki dari seorang baduwi. Karena merasa tertarik dengan anak itu, kemudian ia bertanya pada ibunya. Ibunya berkata kepada Yazid: “...apabila ia sudah berusia lima tahun saya akan menyerahkannya kepada seorang muaddib (guru), yang akan mengajarkannya menghapal dan membaca Al-Quran lalu dia akan mengajarkannya syair. Dan apabila dia sudah dewasa, saya akan menyuruh orang mengajarinya naik kuda dan memanggul senjata kemudian dia akan mondar-mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan suara orang-orang yang minta pertolongan...”.

Kedua, kurikulum pendidikan tinggi. Pada pendidikan tinggi, kurikulum sejalan dengan fase dimana dunia Islam mempersiapkan diri untuk memperdalam masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Akan tetapi bukan berarti pada saat itu, yang diajarkan melulu agama, karena ilmu yang erat kaitannya dengan agama seperti bahasa, sejarah, tafsir dan hadis juga diajarkan.

Pada Akhirnya: Kita Harus Belajar

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa kemajuan yang pernah dicapai Islam dalam pendidikan, terutama karena sistem pendidikan Islam yang diterapkan pada saat itu dilakukan secara bertahap. Mengutip pendapat Ibn Khaldun: “Mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid.

MEWUJUDKAN PENDIDIKAN ISLAM YANG MAJU

Pendidikan Islam hingga kini boleh dikatakan masih berada dalam posisi problematik antara determenisme historis dan realisme praktis. Di satu sisi pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisasi kejayaan pemikiran dan peradaban Islam pada masa lampau yang hegemonik. Sementara di sisi lain, ia juga dipaksa untuk menerima tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang praktis-progresif.

Dalam dataran historis-empiris, kenyataan tersebut acapkali menimbulkan dualisme dan polarisasi sistem pendidikan di tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda tranformasi sosial yang digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar tambal sulam saja. Oleh karena itu tak mengherankan apabila satu sisi kita masih saja mendapati tampilan sistem pendidikan Islam yang sangat tradisional karena tetap memakai “baju lama” (the old fashion), sementara di sisi lain kita juga mendapati sistem pendidikan Islam yang bercorak materialistik-sekularisrik.

Buku yang berjudul Pendidikan Islam Tranformatif yang pada mulanya merupakan karya disertasi ini mengkaji stuktur dasar (fundamental stuktur) epistimologis pendidikan Islam. Dalam hal ini, Mahmud Arif, penulis buku ini, berupaya melakukan penelusuran hitoris-filosofis dari bangunan Islam, khususnya pada abad III, IV, dan V H. melalui analisis kritis atas kaitan organik stuktur dasar epistimologi dominan, kontelasi budaya, dan tradisi pemikiran Islam dengan pendidikannya di masa itu. Serta transmisi historisnya pada pendidikan Islam Indonesia dewasa ini.

Dengan pendekatan historis-filosofis, Mahmud sampai pada kesimpulan bahwa historisitas budaya dan tradisi pemikiran Islam dapat dicermati dari terjadinya perubahan, pergeseran, dan kristalisasi stuktur tipologisnya akibat pengaruh dinamika konteks yang melingkari. Menurut Mahmud, budaya dan tradisi pemikiran Islam pada masa keemasan (abad III-V H.) mengandung tiga struktur epistimologis yang saling bersaing, yaitu bayani, irfani dan burhani.

Dimana epistimologi bayani lebih dahulu menandai konstruksi jagad intelektual dunia Islam dengan eksponen ulama bayaniyyun dan menghasilkan produk intelektual utama ulum an-naqliyah. Produk intelektual ini lazim disebut disebut dengan ilmu-ilmu istidlali. Karena baik sebagai proses maupun produk, ia berasal dan bermuara pada dialektika dengan teks (reproduksi teks).

Sementara itu, epistimologi irfani baru berkembang setelah pengaruh nalar grosnik yang banyak diintrodusir dari tradisi Persia masuk ke dunia Islam dan diapresiasi oleh simpatisan Syi’ah dan kalangan Sufi. Epistimologi irfani ini sangat mengunggulkan jenis pengetahuan kashfi yang bisa diperoleh seseorang melalui riyadhah dan mujahadah, bukan melalui kapabiliitas rasionalnya. Dengan sifat demikian, jenis pengetahuan ini tidak bisa begitu saja ditransmisikan lewat proses pembelajaran yang mengandalkan kemampuan eksplanasi, penalaran diskursif-inferensial, dan kritisme intelektual.

Selanjutnya bersamaan dengan gerakan massif penerjemahan buku-buku warisan pemikiran Yunani (Hellenisme), epistimologi burhani mulai berkembang di dunia Islam atas prakarsa para filsuf dan ilmuwan muslim. Oleh karena berangkat dari kebebasan berpikir rasional-kritis dan tesis nalar universal, epistimologi ini sering di curigai bersifat subversif dan bisa mengancam kemapanan ortodoksi keagamaan. Epistimologi ini pernah dianak emaskan oleh penguasa politik, khususnya pada masa Khalifah al-Makmun, untuk menandingi tradisionalisme Sunni. Kenyataan ini seakan melekatkan dosa sejarah, sehingga pada gilirannya ia lalu dipandang sebelah mata oleh mayoritas umat Islam.

Dalam perkembangannya, dari ketiga epistimologi yang saling bersaing tersebut, ternyata epistimologi bayani-lah yang berkembang lebih pesat dan bahkan sangat dominan. Hal itu disebabkan karena ia bersifat “asali”, juga tipikal dengan budaya Arab-Islam dan nalar-keagamaan kalangan tradisionalisme Sunni yang berhasil membangun ortodoksi keagamaan. Dominasi epistimologi bayani ini terkait erat dengan kejayaan gerakan humanisme dan skolastisisme Islam yang didukung oleh sistem politik pasca tragedi mihnah, yang menandai surutnya gelombang rasionalisme di dunia Islam dan kristalisasi ideologi kawan-lawan.

Pertautan antara epistimologi bayani dan pendidikan Islam masa keemasan inilah yang berpengaruh signifikan terhadap perkembangan aliran konservatif, yaitu aliran pendidikan yang cenderung bersifat murni keagamaan, berorientasi kuat pada moral-etik dan mengambil jarak terhadap pengaruh rasional dari luar. Tidak hanya itu, pengaruh pertautan antar keduanya juga tampak pada simton dikotomik dalam warisan keilmuan Islam sehingga terasa minim apresiasi terhadap keilmuan intelektual.

Epistimologi bayani tersebut, menurut Mahmud, ternyata berpengaruh luas terhadap pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini, terutama dalam konteks pesantren, yang memang disinyalir memiliki ikatan genealogis yang kuat dengan budaya dan tradisi pemikiran Islam abad Klasik-Pertengahan, dan juga terhadap pendidikan madrasah. Hal tersebut bisa dilihat pada wawasan etik-keilmuannya yang memprioritaskan ilmu keagamaan dan ilmu kebahasaan sebagai ilmu bantunya. Wawasan etik-keilmuan semacam itu mengalami penguatan dan pergeseran setelah gerakan neo-sufisme berpengaruh nyata atas sejarah umat Islam tanah air sehingga citra pesantren pun lekat dengan pelembagaan orientasi Fiqh Sufistik.

Atas dasar itu, Mahmud melihat bahwa epistimologi pendidikan Islam sebagai matrik konseptual aktivitas kultural-performatif yang berkaitan langsung dengan dinamika praksis sosial-budaya perlu progresif mempertegas jari diri keberpihakannya pada tindakan penyadaran dan pemberdayaan. Dengan basis ijtihad dan tajdid, epistimologi pendidikan Islam perlu memadukan secara sinergis-dialektis antara epistimologi bayani, irfani dan burhani dalam struktur hierarkis-piramidal yang bermata ayat kauniyah dan ayat qauliyah dalam kerangka humanisasi, liberasi, transendensi demi mewujudkan pendidikan Islam transformatif.

Di tengah ketidaksanggupan pendidikan Islam dalam mengatasi berbagai hambatan yang telah mengebiri konsep pendidikannya hingga menjadi sedemikian statis. Karenanya tak diragukan lagi buku ini akan dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi pencerahan dan pengembangan pendidikan Islam pada umumnya dan bagi pesantren dan madrasah pada khususnya. Sehingga dunia pendidikan Islam tidak lagi mengalami krisis peran sebagai ikon penting transformasi dinamika budaya, pemikiran, dan kehidupan umat.

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI DAN AKAN DATANG

ISTILAH Pendidikan Islam dipergunakan dalam dua hal, yaitu: satu, segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa. Dua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam.

Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat signifikan di Indonesia dalam pengembangan seumberdaya manusia dan pembangunan karakter, sehingga masyarakat yang tercipta merupakan cerminan masyarakat islami. Dengan demikian Islam benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seluruh alam.

Namun hingga kini pendidikan Islam masih saja menghadapi permasalahan yang komplek, dari permasalah konseptual-teoritis, hingga persoalan operasional-praktis. Tidak terselesaikannya persoalan ini menjadikan pendidikan Islam tertinggal dengan lembaga pendidikan lainnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga pendidikan Islam terkesan sebagai pendidikan “kelas dua”. Tidak heran jika kemudian banyak dari generasi muslim yang justru menempuh pendidikan di lembaga pendidikan non Islam.

Ketertinggalan pendidikan Islam dari lembaga pendidikan lainnya, menurut Azyumardi Azra, setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Pendidikan Islam sering terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan masyarakat sekarang dan akan datang.
2. Sistem pendidikan Islam kebanyakan masih lebih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia, biologi, dan matematika modern.
3. Usaha pembaharuan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-potong dan tidak komprehensif, sehingga tidak terjadi perubahan yang esensial.
4. Pendidikan Islam tetap berorientasi pada masa silam ketimbang berorientasi kepada masa depan, atau kurang bersifat future oriented.
5. Sebagian pendidikan Islam belum dikelola secara professional baik dalam penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya.

Permasalahan Pendidikan Islam saat Ini
Terkait dengan ketertinggalan pendidikan Islam ini, menurut Muhaimin dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani.

Jika melihat pendapat Muhaimin ini, maka akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang profan antara dunia dan akhirat. Cara pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomik. Adanya simtom dikotomik inilah yang menurut Abdurrahman Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan pendidikan Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antar akal dan wahyu, serta fakir dan zikir. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan paradigmatik, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah).

Selain itu orientasi pendidikan Islam yang timpang tindih melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan, dari persoalan filosofis, hingga persoalan metodologis.
Di samping itu, pendidikan Islam menghadapi masalah serius berkaitan dengan perubahan masyarakat yang terus menerus semakin cepat, lebih-lebih perkembangan ilmu pengetahuan yang hampir-hampir tidak memeperdulikan lagi sistem suatu agama.

Kondisi sekarang ini, pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian bahwa, satu sisi umat Islam berada pada romantisme historis di mana mereka bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi khazanah Yunani, namun di sisi lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern.

Hal ini pun didukung dengan pandangan sebagian umat Islam yang kurang meminati ilmu-ilmu umum dan bahkan sampai pada tingkat “diharamkan”. Hal ini berdampak pada pembelajaran dalam sistem pendidikan Islam yang masih berkutat apa yang oleh Muhammad Abed al-Jabiri, pemikir asal Maroko, sebagai epistemologi bayani, atau dalam bahasa Amin Abdullah disebut dengan hadharah an-nashsh (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks), di mana pendidikan hanya bergelut dengan setumpuk teks-teks keagamaan yang sebagian besar berbicara tentang permasalahan fikih semata.

Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran karena ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam atau the other, bahkan seringkali ditentangkan antara agama dan ilmu (dalam hal ini sains). Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memeperdulikan agama. Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negataif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat.

Sistem pendidikan Islam yang ada hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar sisitem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam hal pendidikan Islam atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman.
Dari berbagai persoalan pendidikan Islam di atas dapat ditarik benang merah problematika pendidikan Islam yaitu:
Pertama, masih adanya problem konseptual-teoritis atau filosofis yang kemudian berdampak pada persoalan operasional praktis.
Kedua, persoalan konseptual-teoritis ini ditandai dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat.
Ketiga, kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosio-kultural mereka. Pada saat mereka lulus dari lembaga pendidikan Islam merka akan mengalami social-shock.
Keempat, penanganan terhadap masalah ini hanya sepotong-potong, tidak integral dan komprehensif.

Solusi Problematika Pendidikan Islam Saat iniMencermati kenyatan tersebut, maka mau tidak mau persoalan konsep dualisme-dikotomik pendidikan harus segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik pada tingkatan filosofis-paradigmatik maupun teknis departementel. Pemikiran filosofis menjadi sangat penting, karena pemikiran ini nanti akan memeberikan suatu pandangan dunia yang menjadi landasan idiologis dan moral bagi pendidikan.

Pemisahan antar ilmu dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan keduannya dalam satu sistem pendidikan integralistik. Namun persoalan integrasi ilmu dan agama dalam satu sistem pendidikan ini bukanlah suatu persoalan yang mudah, melainkan harus atas dasar pemikiran filosofis yang kuat, sehingga tidak terkesan hanya sekedar tambal sulam. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis pendidikan” yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara “empiris prinsip-prinsip” yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan (sosio dan kultural)Filsafat Integralisme (hikmah wahdatiyah) adalah bagian dari filsafat Islam yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang berkembang pada era postmodern di kalangan masyarakat barat.

Inti dari pandangan hikmah wahdatiyah ini adalah bahwa yang mutlak dan yang nisbi merupakan satu kesatuan yang berjenjang, bukan sesuatu yang terputus sebagaimana pandangan ortodoksi Islam. Pandangan Armahedi Mahzar, pencetus filsafat integralisme ini, tentang ilmu juga atas dasar asumsi di atas, sehingga dia tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu Tuhan dan ilmu skular, ilmu dunia dan ilmu akhirat. Dari pandangan dia tentang kesatuan tersebut juga akan berimplikasi pula pada pemikiran Armahedi pada permasalahan yang lain, termasuk juga pendidikan Islam.

Bagi Armahedi, pendidikan Islam haruslah menjadi satu kesatuan yang utuh atau integral. Baginya, manusia-manuisa saat ini merupakan produk dari pemikiran Barat Modern yang mengalami suatu kepincangan, karena merupakan suatu perkembangan yang parsial. Peradaban Islam adalah contoh lain. Keduanya dapat ditolong dengan membelokkan arah perkembangannya ke arah perkembangan yang evolusioner yang lebih menyeluruh dan seimbang. Hanya ada beberpa sisi saja dari kehidupan manusia yang dikembangkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada hakikatnya adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada saat itu.

Masyarakat saat ini adalah masyarakat materialis yang dapat dibina dengan menggunakan suatu mesin raksasa yang bernama teknostrutur. Di sini ada satu link yang hilang, yaitu spiritualisme. Dengan demikian, pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah mengembangkan seluruh aspek dari manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah Islam, yaitu tauhid.

Pandangan filosofis inilah yang menjadikan pentingnya kajian terhadap pemikiran Armahedi Mahzar tentang sistem pendidikan Islam integratif, karena permasalahan pendidikan sebenarnya terletak pada dua aspek, filosofis dan praktis. Persoalan filosofis ini yang menjadi landasan pada ranah praktis pendidikan. Ketika ranah filosofis telah terbangun kokoh, maka ranah praktis akan berjalan secara sistematis. Dengan demikian, filsafat integralisme atau hikmah wahdatiyah nantinya akan menjadi landasan idiologis dalam pengembangan sistem pendidikan integratif.


Blogspot Templates by youlee_three Dot Com. Powered by Blogger and PDF Downloads