Minggu, 15 Februari 2009

Sejarah Asal mula nama Klaten

Ada dua versi yang menyebut tentang asal muasal nama Klaten. Versi pertama mengatakan bahwa Klaten berasal dari kata kelati atau buah bibir. Kata kelati ini kemudian mengalami disimilasi menjadi Klaten. Klaten sejak dulu merupakan daerah yang terkenal karena kesuburannya.

Versi kedua menyebutkan Klaten berasal dari kota Melati. Kata Melati kemudian berubah menjadi Mlati. Berubah lagi jadi kata Klati, sehingga memudahkan ucapan kata Klati berubah menjadi kata Klaten. Versi ke dua ini atas dasar kata-kata orangtua sebagaimana dikutip dalam buku Klaten dari Masa ke Masa yang diterbitkan Bagian Ortakala Setda Kab. Dati II Klaten Tahun 1992/1993.

Melati adalah nama seorang kyai yang pada kurang lebih 560 tahun yang lalu datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara. Kyai Melati Sekolekan, nama lengkap dari Kyai Melati, menetap di tempat itu. Semakin lama semakin banyak orang yang tinggal di sekitarnya, dan daerah itulah yang menjadi Klaten yang sekarang.

Dukuh tempat tinggal Kyai Melati oleh masyarakat setempat lantas diberi nama Sekolekan. Nama Sekolekan adalah bagian darinama Kyai Melati Sekolekan. Sekolekan kemudian berkembang menjadi Sekalekan, sehingga sampai sekarang nama dukuh itu adalah Sekalekan. Di Dukuh Sekalekan itu pula Kyai Melati dimakamkan.

Kyai Melati dikenal sebagai orang berbudi luhur dan lagi sakti. Karena kesaktiannya itu perkampungan itu aman dari gangguan perampok. Setelah meninggal dunia, Kyai Melati dikuburkan di dekat tempat tinggalnya.

Sampai sekarang sejarah kota Klaten masih menjadi silang pendapat. Belum ada penelitian yang dapat menyebutkan kapan persisnya kota Klaten berdiri. Selama ini kegiatan peringatan tentang Klaten diambil dari hari jadi pemerintah Kab Klaten, yang dimulai dari awal terbentuknya pemerintahan daerah otonom tahun 1950.

Apem disebar, pencopet beraksi



Ribuan warga dari berbagai daerah berdesak-desakan memperebutkan apem yang disebarkan pada acara tradisional Yaqowiyu, di lapangan sekitar Makam Ki Ageng Gribig, Jatinom, Klaten, Jumat (13/2).

Rangkaian kegiatan Yaqowiyu yang dimulai sejak sepekan lalu, diakhiri dengan pelaksanaan sebaran apem hasil swadaya masyarakat Jatinom.
Pada acara puncak tersebut, ribuan warga mulai mendekati sebuah menara yang berada persis di tengah lapangan.

Berdasarkan pantauan Espos, setelah salat Jumat berakhir atau sekitar pukul 13.00 WIB kerumunan warga semakin membludak.
Mereka bersiap-siap meraup apem sebanyak-banyaknya yang masih didoakan oleh peragan, atau tokoh yang memerankan Ki Ageng Gribig beserta sahabat-sahabatnya.
Penyebar apem yang memakai surban dan jubah putih tersebut mulai melemparkan apem dari genggaman mereka ke pengunjung.

Sedikit demi sedikit, apem yang jumlahnya lebih dari 80.000 buah tersebut disebar dari atas menara. Untuk meraih apem-apem tersebut, sebagian pengunjung sampai harus loncat-loncat agar tidak kedahuluan pengunjung lain.
Bukan hanya itu, kerumunan warga yang tidak bisa dibendung tersebut menyebabkan kondisi di sekitar menara saling berdesak-desakan.

Begitu juga di jalan masuk dan tangga masuk ke lapangan. Warga hilir mudik berusaha untuk mendekat ke lokasi di sekitar menara untuk meraih apem yang dianggap bisa mendatangkan berkah dan keselamatan dalam kehidupan mereka.
Makanan yang berbentuk bulat tersebut menurut cerita warga setempat, Budi, adalah oleh-oleh Ki Ageng Gribig dari tanah suci Mekah.
"Sembari menyiarkan ajaran agama, Ki Ageng Gribig memperlihatkan apem yang ia bawa dari Mekah. Waktu itu Ki Ageng Gribig hanya bawa tiga biji saja sehingga dijadikan rebutan," terang Budi.

Karena terlalu fokus untuk merayah apem, sebagian pengunjung menjadi lalai mengawasi barang-barang berharga mereka. Kondisi tersebut rupanya dimanfaatkan para pencopet untuk melancarkan aksi liciknya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Espos di Mapolsek Jatinom, setelah acara berakhir hingga pukul 15.00 WIB, tercatat ada tiga warga yang melaporkan kehilangan handphone (HP).

warung apung - Rowo Jombor


Bagi masyarakat Klaten dan sekitarnya tentu sudah tahu dengan Rawa Jombor di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Klaten. Selama ini Rawa Jombor sudah dikembangkan obyek wisata unggulan di Kabupaten Klaten.

Bagi masyarakat Klaten dan sekitarnya tentu sudah tahu dengan Rawa Jombor di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Klaten. Selama ini Rawa Jombor sudah dikembangkan obyek wisata unggulan di Kabupaten Klaten. Karena sekarang di Rawa Jombor tumbuh menjadi kawasan ekonomi yang cukup menjanjikan. Bahkan, kini tingkat ekonomi warga sekitar terus membaik berkat berkembangnya Rawa Jombor yang sekarang menjadi kawasan wisata potensial. Semua itu berkat adanya warung apung yang kini jumlahnya ada lebih 20 warung apung. Dulu sekitar tahun 1995 kawasan ini belum maju seperti sekarang.

Warung apung yang pertama kali didirikan adalah Warung Apung Ilham. Pendirian warung apung ini semula mencontoh warung apung di Waduk Serba Guna Gadjah Mungkur, Wonogiri. Setelah ada prospek bisnis yang menjanjikan maka dari tahun ke tahun jumlah warung apung terus bertambah. Pada hari Raya Idul Fitri dan puncaknya Syawalan warung apung banyak dikunjungi warga. Pengelola warung apung pun berpikir otak agar warungnya banyak dikunjungi warga. Ada yang menyuguhkan tontonan organ tunggal dengan sederet penyanyi secara gratis.

Juga ada yang menyediakan aneka mainan anak-anak seperti bebek-bebekan. Jika ditengok ke belakang, sebelum ada usaha warung apung perekonomian di wilayah Desa Krakitan, Kecamatan Bayat ini sangat minim sekali. Namun setelah muncul usaha warung apung, perekonomian masyarakat meningkat dan hasilnya sangat memuaskan. Usaha ini bisa membantu para pengangguran yang sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan. Seperti usaha yang dilakoni Pak Pekik dan Pak Sadikan, pegelola warung apung yang diberi nama Pondok Roso No 17. Warung apung ini sudah ada kurang lebih sejak sepuluh tahun yang lalu. Dari usaha warung apung dan pemancingan ini bisa membantu meningkatkan perekonomian masyarakat Desa Krakitan pada khususnya.

Selain itu, menurut mereka, tempat ini juga merupakan salah satu obyek wisata yang ada di Klaten. “Sambil refreshing dan menikmati pemandangan yang indah di warung apung, para pengunjung bisa menikmati hidangan yang disajikan dari warung apung kami. Sudah hampir tujuh tahun kami merintis usaha ini. Dari usaha ini, bisa meningkatkan pendapatan perekonomian,” akunya. Di Pondok Roso ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas diantaranya, musholla, toilet, kamar mandi, arena bermain anak-anak, bebek obel, orgen tunggal dan semua ini gratis.

Biasanya, kalau ramai itu pas hari Minggu atau tanggal merah dan waktu liburan sekolah. “Mereka yang datang dalam jumlah besar biasanya pesan tempat terlebih dahulu. Biasanya dalam acara syukuran, kelulusan, arisan keluarga dan sebagainya. Masalah harga di sini cukup terjangkau,” ungkapnya. Pekik menyampaikan, menu yang disuguhkan di warungnya ini pun cukup istimewa. Namun jika ada pengunjung yang datang dan minta menu yang lain dan tidak tercatat dalam daftar menu, kami akan melayani dan membuatkannya,” tegasnya. Menurut Pekik, pengunjung yang datang itu dari segala penjuru. Dari Jogja, Boyolali, Sukoharjo, Solo, Jakarta dan lain-lain. “Apalagi jika waktu lebaran. Kan banyak orang yang mudik pulang kampung.

Jadi mereka menyempatkan untuk refreshing bersama keluarga,” paparnya. Pekik menjelaskan, warung apung ini nisa muat sampai 1.200 orang. “Soal omset, jika hari biasa, dari Senin sampai Sabtu bisa mencapai Rp 1-4 juta. Sedangkan jika hari Minggu, mencapai Rp 12 juta. Maka dari itu, khusus hari Minggu, saya menambah jumlah karyawan kami sebanyak 50 orang. Saya berharap semoga usaha ini tetap jaya,” pintanya. Warung Ilham juga cukup menjanjikan, karena setelah berkembang saat ini juga membuka cabang di tengah Kota Klaten.

Dengan adanya warung apung kini kawasasn Obyek Wisata Rawa Jombor menjadi obyek wisata kuliner yang menawarkan banyak aneka jenis ikan mulai ikan lele, ikan gurameh dan jenis ikan lainnya. Bahkan, warga yang berwisata di Rawa Jombor dapat memesan ikan dalam jumlah besar baik ikan bakar atau ikan goreng untuk oleh-oleh. Oleh : Arison

saparan eui....sebaran apem


Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan.
Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan (M Darori Amin, 2000:93).

Sebelum kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah berakar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, dengan datangnya Islam, terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak, dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya, muncul dua kelompok dalam menerima Islam. Pertama menerima Islam secara total dan meninggalkan kepercayaan-kepercayaan lama.

Dalam masalah ini, Drewes telah meneliti ulang tiga buah manuskrip lama yang berasal pada abad ke-15 atau ke-16. Ketiga manuskrip tersebut menunjukkan tentang Islam ortodoks yang dapat diterima oleh semua pihak di kalangan umat Islam. Yang kedua adalah mereka yang menerima Islam, tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama (M Durori Amin, 2000). Oleh karena itu, mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lama.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, dapat dijumpai tulisan-tulisan, tradisi dan kepercayaan yang tercampur di dalamnya antara aspek-aspek dari ajaran Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lama.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, Islam yang berkembang di Indonesia mula-mula adalah Islam sufi (mistik), yang salah satu ciri khasnya adalah bersifat toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, yang dibiarkan eksis sebagaimana semula, hanya kemudian diwarnai dan diisi dengan ajaran-ajaran Islam.

Dengan demikian, islamisasi di Jawa lebih bersifat kontinuitas apa yang sudah ada dan bukan perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Azzumardi Azra, 1994:35).
Upacara ritual Saparan/Yaqowiyu di Klaten merupakan tradisi yang tidak dihilangkan oleh ulama/mubalig, tetapi dibiarkan berlanjut dengan diwarnai dan diisi dengan unsur-unsur dari agama Islam.

Dari beberapa pendapat di atas, sikap dan perilaku keagamaan sebagian masyarakat Jawa sangat sinkretis, tampak pada prosesi ritual Saparan atau Yaqowiyu. Pada upacara tradisi Yaqowiyu yang dilaksanakan di Jatinom, Klaten, unsur-unsur animisme dan dinamisme tampak pada benda-benda sajen maupun benda-benda yang mempunyai kekuatan magis seperti kue apem.

Sejarah ritual ini berawal dari pembagian kue apem oleh Ki Ageng Gribig pada 15 Safar 1511 H. Pada waktu itu, Ki Ageng Gribig baru saja pulang dari Mekah setelah menunaikan rukun Islam yang kelima dan membawa oleh-oleh kue apem dan segumpal tanah liat dari Arafah.

Syiar Islam
Dia juga membawa oleh-oleh berupa tiga buah roti gimbal yang masih hangat, untuk dibagi-bagikan kepada tetangga dan sanak saudara yang ada. Mereka berkumpul untuk mendengar cerita dan wejangan ilmu dari dia. Sebelum mereka pulang, beliau membagi oleh-oleh tadi secara merata. Tetapi oleh-oleh tadi ternyata tidak mencukupi untuk semua yang hadir. Oleh karena itu disuruhlah isterinya untuk memasak kue tadi menjadi lebih banyak agar semua yang hadir mendapat oleh-oleh.

Penyebaran apem dilakukan Ki Ageng Gribig seusai Salat Jumat. Sebelum oleh-oleh dibagikan kepada para tetangga, dia memanjatkan doa lebih dahulu agar mendapat berkah. Baru setelah itu apem tersebut disebarkan kepada para kerabat dan tetangga yang jumlahnya banyak.

Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya setempat, di satu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi dan pencampuradukan antara Islam di satu sisi dengan kepercayaan-kepercayaan lama di lain pihak, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan mana pula yang berasal dari tradisi.

Namun aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Sebaliknya ajaran-ajaran tersebut memudahkan kalangan pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa.

Demikianlah, pergumulan antara Islam di satu pihak dengan tradisi dan budaya Jawa pra-Islam di pihak lain. Menolak semua tradisi dan budaya Jawa pra-Islam bagi masyarakat muslim adalah suatu kemustahilan. Sebagai anggota masyarakat Jawa, mereka terkait dengan norma dan tradisi yang berlaku. Namun, menerima semua tradisi Jawa dengan tanpa seleksi adalah langkah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keagamaan yang mengharuskan adanya seorang rasul yang ditugaskan untuk mengajarkan risalah dan meluruskan tradisi agar tidak terjerumus dalam bidah.

Hal ini terjadi karena ada adat atau tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Selagi hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam, para ulama tidak mempermasalahkan untuk mengadopsinya. - Oleh : Muh Fajar Shodiq, Dosen STAIN Surakarta


Blogspot Templates by youlee_three Dot Com. Powered by Blogger and PDF Downloads