Senin, 29 Desember 2008

Menegakkan Kembali Peradaban ISLAM Melalui PENDIDIKAN

Pendidikan!, sebuah kata yang tidak mungkin terlepas dari lingkup ajaran islam. Dengan pendidikanlah, din ini menjadi menghasilkan kumpulan kemenangan yang berakumulasi menjadi sebuah peradaban besar.

Pendidikan dalam islam tidak luput pendidikan aqliah atau intelektual yang mendidik akal, karena akal merupakan unsur paling berharga bagi manusia yang bertindak (berfikir) secara rasional tetapi kemampuannya agak terbatas. Fungsi tersebut telah dijelaskan dalam perkataan “iqra” yang mana keadaan akal sentiasa menerima bimbingan Allah. Oleh karena itu, pendidikan Islam menekankan pentingnya melatih aqliah manusia dengan nilai-nilai ketuhanan (ilmu tauhid), sifat ketaatan (ta’abbud) dan penyucian rohani (tazkiyyah). Dengan demikian, pendidikan akal atau mental tidak tersisih dari nilai-nilai kerohanian.

Pendidikan jasmani yang meliputi aspek fisikal dan mental pun tak luput dari konteks pendidikan islam Kedua-duanya turut diberi perhatian dalam Islam. Ia merangkumi kebersihan, kesehatan, kecerdasan, kekuatan, keberanian, dan disiplin. Ia bertujuan melahirkan insan yang sehat dan kuat untuk menjalankan kewajiban kepada Allah.

Kaitan Pendidikan dan Peradaban

Menurut Ibn Khaldun, tanda kemajuan peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung dan berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi, substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya melalui pendidikan.

Tumbuh dan tenggelamnya peradaban manusia serta unggul dan kalahnya, bukan karena sesuatu yang kebetulan semata, tetapi ada sebab-sebab tersembunyi yang berperan di balik fenomena tersebut. Apabila kita amati dengan cermat dan jujur, maka akan kita temukan suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan yang sanggup mengendalikan umat manusia itu mempunyai kaitan yang kuat dengan tingkat penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan dan sistem pendidikan.

Menurutnya, peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan kesanggupan berjuang untuk hidup.

Jadi, kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemampuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan tumbuh jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran.

Allah memberikan anugerah kepada manusia berupa tiga nikmat potensial, yaitu as-Sam’u (daya pendengaran), al-Basharu (daya pengamatan), dan al-Fu’ad (daya hati-nurani), yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk-makhluk yang lain.

Sayangnya tidak semua manusia mampu menangkap makna firman Allah tersebut dengan baik yang tersimpan dalam tiga kata tersebut. Kita seharusnya tidak memahami kata-kata tersebut sebatas arti harfiyahnya semata. Kata as-Sam’u bukan sekedar mendengar dengan telinga, tetapi menangkap informasi dan melindungi nilai-nilai ilmiah yang sudah dicapai oleh orang-orang lain (atau diwariskan oleh generasi terdahulu ). Kemudian al-Bashar tidak hanya sekedar melihat dengan mata, tetapi juga pengamatan, penelitian dan analisa-analisa laboratoris untuk mengembangkan keilmuan yang baru. Dan al-Fu’ad bukan sekedar membatin dalam hati, tetapi mengelaborasi dengan membuat evaluasi dan uji kebenaran lebih mendalam terus-menerus, untuk mengetahui mana yang valid dan mana yang tidak.

Maka bangsa dan masyarakat manapun yang mampu mengembangkan ketiga nikmat potensial tersebut dengan cara yang baik, dialah yang akan menguasai sistem pendidikan dan dapat membangun peradaban yang maju. Sedangkan mereka yang tidak mampu melakukan hal tersebut, akan hidup dalam keterbelakangan dan ketidakberdayaan.

Pendidikan adalah Akar Peradaban Islam

Islam adalah agama terbesar di dunia. Ajarannya mampu membangun suatu peradaban besar yang diakui dalam kancah pergaulan global. 14 abad lamanya kekuasaan Islam telah menaungi sepertiga bagian bumi ini. Di bawah naungan Islamlah perkembangan sains dan teknologi, perekonomian, sosial dan budaya berjalan seiring dengan peningkatan iman dan takwa. Dengan Islamlah, negara adidaya khilafah Islamiyah berkibar dan menyatukan kaum muslimin di dunia di atas kalimat tauhid. Negara Islam saat itu menduduki posisi strategis dalam membangun kehidupan manusia menuju perdamaian dan kesejahteraan.

Agama ini telah meletakkan pondasi peradaban yang besar dan gemilang dalam sejarah. Peradaban Islam merupakan pengibar bendera keilmuan dan kebudayaan di dunia pada abad ke-3 hingga ke-7 Hijriah. Penekanan Islam atas pendidikan dan penelitian merupakan penyebab utama terbentuknya peradaban yang agung itu. Sumber-sumber Islam, khususnya Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah saw., dipenuhi dengan serangkaian ajaran yang mengajak umat Islam untuk menuntut ilmu dan merenungkan alam semesta serta menghormati ilmuwan. Dengan ajaran semacam ini, tidaklah mengherankan bila peradaban dan kebudayaan Islam kian berkembang di berbagai bidang. Dalam jantung peradaban Islam, para pemikir besar mengemuka di kancah keilmuan dengan mempersembahkan pelayanan yang luar biasa kepada umat manusia.

Bila kita menengok kondisi dunia Islam dari abad ke-3 hingga ke-7 Hijriah, kita akan menemukan bahwa pada zaman itu, pusat-pusat pendidikan tersebar di berbagai penjuru wilayah Islam. Selain universitas-universitas, masjid-masjid juga dijadikan tempat penyebaran ilmu. Perpustakaan-perpustakaan, pusat-pusat riset, dan laboratorium-laboratorium juga bermunculan di berbagai tempat. Semua fasilitas itu menyebabkan ilmu dan pengetahuan mempunyai tempat yang utama di tengah-tengah umat Islam.

Para ilmuwan muslim dengan mengeksplorasi hasil-hasil peradaban kuno akhirnya mencapai keberhasilan di berbagi bidang seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, filsafat, logika, sastra, sejarah, dan geografi. Semangat menuntut ilmu dan menempa pendidikan itu bukan hanya terbatas di kalangan ilmuwan atau kalangan tertentu saja, namun juga mencakup semua lapisan masyarakat. Hal ini terjadi berkat penekanan Islam atas pentingnya ilmu dan pendidikan. Rasulullah saw. bersabda, Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslimin, baik perempuan maupun laki-laki.

Sungguh ironi, mengapa saat ini negara yang berlandaskan dan atau berpenduduk mayoritas muslim kurang berlaga dalam kancah peradaban dunia seperti dahulu kala? Mengapa mereka tidak dapat membuat rantai peradaban Islam? Padahal begitu banyak potensi yang dimiliki negara Islam seperti sumber daya alam yang melimpah. Apakah yang menyebabkan hal ini terjadi? Peradaban mana yang telah naik daun saat ini?

Benturan Peradaban Islam dan Barat : Tantangan Bagi Umat Islam Saat Ini

Sejarah telah mencatat Baratlah yang memulai perang terhadap umat Islam yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Salib atau Crusade. Perang Salib terjadi selama satu abad (1096–1192 M), yang berlangsung selama tiga tahap: antara tahun 1096–1099 M, antara tahun 1147–1149 M, dan antara tahun 1189-1192 M. Pembantaian kaum Muslim oleh tentara salib di Spanyol (Andalusia) abad XV M, termasuk serangan secara pemikiran dan kebudayaan (tsaqâfah) seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis, adalah juga berlatarbelakang agama.

Di akhir abad ke-5 Hijriah, pasukan Salib menyerang kawasan-kawasan Islam dengan alasan mengusai Baitulmaqdis. Hampir dua abad lamanya, mereka menggelar peperangan akbar untuk menduduki kawasan-kawasan Islam. Perang Salib belum selesai, pasukan Mongol pun menyerang kawasan timur pada awal abad ke-7 Hijriyah. Serangan ini telah merugikan negara-negara Islam dalam jumlah yang besar. Konflik lain juga menimpa dunia Islam, yaitu perselisihan di antara pemerintahan Islam. Semua tragedi ini mengakhiri masa kegemilangan peradaban Islam.

Selama Perang Salib berlangsung, terjadi juga perpindahan berbagai informasi dari Timur ke Barat. Melalui perang ini, Barat mulai mengenal keilmuan dan peradaban Islam yang kemudian dijadikan sebagai pijakan kejayaan Barat saat ini. Eropa pasca periode rennaisance meraih kejayaan keilmuan dan peradabannya dengan memanfaatkan berbagai kemajuan ilmu yang diraih peradaban Islam. Kemajuan peradaban Barat lambat laun membuat mental umat Islam melemah dan mereka semakin tidak berdaya menghadapi derasnya kemajuan peradaban Barat. Umat Islam pun secara perlahan-lahan tak lagi bergairah mempertahankan kejayaan keilmuan dan peradaban Islam.

Samuel P. Huntington dalam tesis “The Clash of Civilization” , kita dapat mengetahui dan melihat posisi peradaban Islam di tengah-tengah konstalasi peradaban global dewasa ini. Huntington menyebutkan di dunia sekarang ini terdapat sembilan peradaban yang masih eksis, yaitu peradaban Barat, Konfusianis, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Dari peradaban-peradaban tersebut ada tiga peradaban besar, yaitu Peradaban Barat, peradaban Cina, dan peradaban Islam.

Menurutnya, kontradiksi-kontradiksi antar peradaban tersebut akan menciptakan konflik yang berakar dari benturan peradaban besar tersebut, yakni hegemoni dan arogansi peradaban Barat, fanatisme peradaban Cina, dan intoleransi peradaban Islam. Menurut pengamatan Huntington, bahwa kolaborasi kultural antara Islam dan Cina adalah sesuatu yang bisa terjadi setiap saat, karena adanya kedekatan kultural diantara keduanya. Dan hal tersebut sangat ampuh untuk mengikis perbedaan-perbedaan lain yang ada di antara keduanya, dan dapat bersatu melawan hegemoni Barat.

Meskipun tesis Huntington menyebutkan tiga poros peradaban yang menjadi mainstream di abad modern saat ini, namun ada dua kutub yang seringkali dipertentangkan sedara diametral, yaitu peradaban Barat versus peradaban Islam.

Pada faktanya, tesis tersebut memang tidak bisa dipungkiri. Pasca era Perang Dingin, dengan melihat realitas politik yang ada, kita melihat bahwa benturan antara peradaban Barat dan Islam sesungguhnya sedang berlangsung. Bahkan, boleh dikatakan, benturan Islam Barat saat ini sebetulnya hanyalah lanjutan belaka dari benturan yang pernah terjadi pada masa lalu, khususnya pada era Perang Salib.

Hingga kini, ‘semangat’ Perang Salib ini masih melekat dalam benak orang-orang Barat, yang kemudian menjelma menjadi ‘prasangka buruk’ (stigma) terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Kecenderungan memberikan label yang bersifat generalisasi mengenai Islam dan orang Islam, tanpa melihat kenyataan sebenarnya, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan.

Saat ini, model sistem pendidikan di dunia pada umumnya telah mereka kuasai, sehingga penanaman nilai-nilai moral agama terasa kurang dan tersisihkan. Padahal nilai-nilai agama sangat berguna dalam menciptakan generasi rabbani yang tangguh imannya dan cerdas intelektualnya.

Bila kita cermati, kuantitas dan kualitas kerja umat ini masih tertinggal dari Barat. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kelebihan umum orang Barat saat ini adalah mereka memiliki kualitas dan kuantitas kerja yang luar biasa. Semangat untuk mencari kekayaan dan kekuasaan mendobrak jiwa mereka untuk bergerak mencari taraf kehidupan yang lebih tinggi. Mereka kuasai iptek, media massa, perdagangan, transportasi, dan pergaulan global. Sementara umat Islam saat ini? Masih dalam kemunduran. Lihatlah kondisi umat Islam pada grafik di bawah.

Grafik tersebut mencerminkan kondisi usia kerja berbagai umat dengan tidak mempunyai kualifikasi (tahun 2004)[1]. Umat Islam mencapai angka tertinggi. Sungguh mengerikan! Apakah yang menyebabkan kondisi ini? Manakah yang patut disalahkan? Ajarannya atau pemeluknya?

Paradigma berfikir umat Islam saat ini masih pragmatis. Mayoritas umat ini masih memandang agama hanya sebagai bekal untuk kehidupan ukhrowi semata. Sementara pendidikan sains dan teknologi kurang terperhatikan. Padahal Islam sendiri mengajarkan sikap tawazun dalam menjalani kehidupan. Seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat. Seimbang antara penguasaan ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Orang yang hanya mempelajari ayat qauliyah tanpa ayat kauniyah akan ”lumpuh” hidupnya, mudah terperdaya oleh orang lain dan mudah diserang oleh lawan.

Sedangkan orang yang hanya mempelajari ayat-ayat kauniyah tanpa ayat-ayat qauliyah, maka hidupnya akan terjatuh ke dalam lembah kesesatan yang hina dina. Dia hampa dari petunjuk, hidupnya penuh dengan ambisi duniawi, kosong dari nuansa ukhrowi.

Menegakkan Kembali Konsep Pendidikan Islam

Al-Quran menyebut tiga kaedah mengetahui, melalui konsep-konsep ainul yaqin (ketahui melalui pancaindera), ilmul yaqin (ketahui melalui logika), dan haqqul yaqin (ketahui melalui ilham, wahyu). Apabila kita menggabungkan ketiga kaedah mengetahui ini, kita mendapat pengetahuan terpadu yang lengkap atau sempurna.

Islam adalah agama yang menghendaki keseimbangan. Seimbang dalam pengkajian ayat-ayat kauniyah dan juga ayat-ayat qauliyah. Seimbang antara ibadah dalam keduniawian dan keukhrawian. Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa hukum menuntut ilmu agama adalah fardhu ‘ain, sedangkan menuntut ilmu dunia seperti sains dan teknologi adalah fardhu kifayah. Dengan demikian, output pendidikan Islam akan menghasilkan generasi qur’ani yang cerdas otaknya dan lembut hatinya.

Hal ini terbukti dengn banyaknya ilmuan muslim ketika masa kekhalifahan. Adapun para ilmuan muslim tersebut diantaranya : Ibnu Khaldun (ahli sosiologi dan ilmu sejarah), Ibnu Haitham (bapak ilmu optic), Abu Bakr Muhammad bin Zakariya ar-Razi (ahli kedokteran), Ibn Sina (pakar kedokteran), Ibnu Rusyd (filosof, dokter, dan ahli fikih Andalusia), al-Khawarizmi (pakar matematika), Jabir Ibn Hayyan (ahli kimia), al-Idrisi (ahli geografi), dan sebagainya.

Tidak pelak lagi, pencapaian sains dan teknologi yang amat tinggi, yang tidak pernah dicapai oleh umat manusia pada masa sebelumnya, adalah berkat diterapkannya Islam sebagai sebuah sistem pendidikan dan ideologi. Benar kiranya pernyatan salah seorang intelektual Muslim dari Mesir, Syekh Syaqib Arselan, yang mengatakan bahwa orang-orang Barat maju karena meninggalkan agamanya dan kaum Muslim mundur karena meninggalkan agamanya
Sudah saatnya kita berbenah diri memperbaiki sistem pendidikan ini sebagai basis peradaban dan tunas kemajuan umat.

Oleh karena itu, pembenahan kurikulum pendidikan wajib kita lakukan demi terciptanya sistem pendidikan yang lebih baik. Sistem pendidikan berbasis Islamlah yang tepat untuk mengatasi hal ini, yakni sistem pendidikan yang menghendaki adanya integrasi imtak dan iptek. Pendidikan yang menyeimbangkan antara penguasaan ayat-ayat kauniyah tanpa menafikan ayat-ayat qauliyah.

Untuk itu, kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan ulama perlu dilakukan lebih intens untuk membahas pernasalahan ini demi terwujudnya sistem pendidikan yang lebih baik dan unggul. Semoga islam kembali menjadi sebuah peradaban yang dikagumi dan disegani oleh dunia. Allahu akbar! (epsdin dari berbagai sumber)

0 komentar:


Blogspot Templates by youlee_three Dot Com. Powered by Blogger and PDF Downloads