Jumat, 02 Januari 2009

MEWUJUDKAN PENDIDIKAN ISLAM YANG MAJU

Pendidikan Islam hingga kini boleh dikatakan masih berada dalam posisi problematik antara determenisme historis dan realisme praktis. Di satu sisi pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisasi kejayaan pemikiran dan peradaban Islam pada masa lampau yang hegemonik. Sementara di sisi lain, ia juga dipaksa untuk menerima tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang praktis-progresif.

Dalam dataran historis-empiris, kenyataan tersebut acapkali menimbulkan dualisme dan polarisasi sistem pendidikan di tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda tranformasi sosial yang digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar tambal sulam saja. Oleh karena itu tak mengherankan apabila satu sisi kita masih saja mendapati tampilan sistem pendidikan Islam yang sangat tradisional karena tetap memakai “baju lama” (the old fashion), sementara di sisi lain kita juga mendapati sistem pendidikan Islam yang bercorak materialistik-sekularisrik.

Buku yang berjudul Pendidikan Islam Tranformatif yang pada mulanya merupakan karya disertasi ini mengkaji stuktur dasar (fundamental stuktur) epistimologis pendidikan Islam. Dalam hal ini, Mahmud Arif, penulis buku ini, berupaya melakukan penelusuran hitoris-filosofis dari bangunan Islam, khususnya pada abad III, IV, dan V H. melalui analisis kritis atas kaitan organik stuktur dasar epistimologi dominan, kontelasi budaya, dan tradisi pemikiran Islam dengan pendidikannya di masa itu. Serta transmisi historisnya pada pendidikan Islam Indonesia dewasa ini.

Dengan pendekatan historis-filosofis, Mahmud sampai pada kesimpulan bahwa historisitas budaya dan tradisi pemikiran Islam dapat dicermati dari terjadinya perubahan, pergeseran, dan kristalisasi stuktur tipologisnya akibat pengaruh dinamika konteks yang melingkari. Menurut Mahmud, budaya dan tradisi pemikiran Islam pada masa keemasan (abad III-V H.) mengandung tiga struktur epistimologis yang saling bersaing, yaitu bayani, irfani dan burhani.

Dimana epistimologi bayani lebih dahulu menandai konstruksi jagad intelektual dunia Islam dengan eksponen ulama bayaniyyun dan menghasilkan produk intelektual utama ulum an-naqliyah. Produk intelektual ini lazim disebut disebut dengan ilmu-ilmu istidlali. Karena baik sebagai proses maupun produk, ia berasal dan bermuara pada dialektika dengan teks (reproduksi teks).

Sementara itu, epistimologi irfani baru berkembang setelah pengaruh nalar grosnik yang banyak diintrodusir dari tradisi Persia masuk ke dunia Islam dan diapresiasi oleh simpatisan Syi’ah dan kalangan Sufi. Epistimologi irfani ini sangat mengunggulkan jenis pengetahuan kashfi yang bisa diperoleh seseorang melalui riyadhah dan mujahadah, bukan melalui kapabiliitas rasionalnya. Dengan sifat demikian, jenis pengetahuan ini tidak bisa begitu saja ditransmisikan lewat proses pembelajaran yang mengandalkan kemampuan eksplanasi, penalaran diskursif-inferensial, dan kritisme intelektual.

Selanjutnya bersamaan dengan gerakan massif penerjemahan buku-buku warisan pemikiran Yunani (Hellenisme), epistimologi burhani mulai berkembang di dunia Islam atas prakarsa para filsuf dan ilmuwan muslim. Oleh karena berangkat dari kebebasan berpikir rasional-kritis dan tesis nalar universal, epistimologi ini sering di curigai bersifat subversif dan bisa mengancam kemapanan ortodoksi keagamaan. Epistimologi ini pernah dianak emaskan oleh penguasa politik, khususnya pada masa Khalifah al-Makmun, untuk menandingi tradisionalisme Sunni. Kenyataan ini seakan melekatkan dosa sejarah, sehingga pada gilirannya ia lalu dipandang sebelah mata oleh mayoritas umat Islam.

Dalam perkembangannya, dari ketiga epistimologi yang saling bersaing tersebut, ternyata epistimologi bayani-lah yang berkembang lebih pesat dan bahkan sangat dominan. Hal itu disebabkan karena ia bersifat “asali”, juga tipikal dengan budaya Arab-Islam dan nalar-keagamaan kalangan tradisionalisme Sunni yang berhasil membangun ortodoksi keagamaan. Dominasi epistimologi bayani ini terkait erat dengan kejayaan gerakan humanisme dan skolastisisme Islam yang didukung oleh sistem politik pasca tragedi mihnah, yang menandai surutnya gelombang rasionalisme di dunia Islam dan kristalisasi ideologi kawan-lawan.

Pertautan antara epistimologi bayani dan pendidikan Islam masa keemasan inilah yang berpengaruh signifikan terhadap perkembangan aliran konservatif, yaitu aliran pendidikan yang cenderung bersifat murni keagamaan, berorientasi kuat pada moral-etik dan mengambil jarak terhadap pengaruh rasional dari luar. Tidak hanya itu, pengaruh pertautan antar keduanya juga tampak pada simton dikotomik dalam warisan keilmuan Islam sehingga terasa minim apresiasi terhadap keilmuan intelektual.

Epistimologi bayani tersebut, menurut Mahmud, ternyata berpengaruh luas terhadap pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini, terutama dalam konteks pesantren, yang memang disinyalir memiliki ikatan genealogis yang kuat dengan budaya dan tradisi pemikiran Islam abad Klasik-Pertengahan, dan juga terhadap pendidikan madrasah. Hal tersebut bisa dilihat pada wawasan etik-keilmuannya yang memprioritaskan ilmu keagamaan dan ilmu kebahasaan sebagai ilmu bantunya. Wawasan etik-keilmuan semacam itu mengalami penguatan dan pergeseran setelah gerakan neo-sufisme berpengaruh nyata atas sejarah umat Islam tanah air sehingga citra pesantren pun lekat dengan pelembagaan orientasi Fiqh Sufistik.

Atas dasar itu, Mahmud melihat bahwa epistimologi pendidikan Islam sebagai matrik konseptual aktivitas kultural-performatif yang berkaitan langsung dengan dinamika praksis sosial-budaya perlu progresif mempertegas jari diri keberpihakannya pada tindakan penyadaran dan pemberdayaan. Dengan basis ijtihad dan tajdid, epistimologi pendidikan Islam perlu memadukan secara sinergis-dialektis antara epistimologi bayani, irfani dan burhani dalam struktur hierarkis-piramidal yang bermata ayat kauniyah dan ayat qauliyah dalam kerangka humanisasi, liberasi, transendensi demi mewujudkan pendidikan Islam transformatif.

Di tengah ketidaksanggupan pendidikan Islam dalam mengatasi berbagai hambatan yang telah mengebiri konsep pendidikannya hingga menjadi sedemikian statis. Karenanya tak diragukan lagi buku ini akan dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi pencerahan dan pengembangan pendidikan Islam pada umumnya dan bagi pesantren dan madrasah pada khususnya. Sehingga dunia pendidikan Islam tidak lagi mengalami krisis peran sebagai ikon penting transformasi dinamika budaya, pemikiran, dan kehidupan umat.

0 komentar:


Blogspot Templates by youlee_three Dot Com. Powered by Blogger and PDF Downloads